Menjadi Pembaca yang “Terlihat”

Haris Quds
5 min readJul 11, 2023

--

Gimana? Sudah bosan mendengar narasi “minat baca warga Indonesia rendah” atau “orang Indonesia kekurangan minat baca”? Bahkan lembaga pemerintah Indonesia sekelas Kominfo pun ikut termakan dengan narasi tersebut. Artikelnya dapat di lihat di sini. Adapun yang selalu menjadi rujukan adalah sebuah artikel bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, artikel tahun 2016 yang jelas-jelas menyatakan bahwa variabel utama penilaian mereka adalah jumlah perpustakaan akademis, sekolah, dan umum, serta jumlah buku yang terdapat pada setiap perpustakaannya.

Bahkan, jika dilihat dari judul yang digunakan saja, tidak ada satupun kata yang menunjukkan penilaian terhadap “minat baca”. Artikel tersebut juga menyatakan secara jelas, “The report discovered that if it only ranked nations on their reading assessment results, the final tables would have been very different.” Artinya, kebiasaan membaca bukanlah aspek utama yang ingin dibahas pada riset tersebut.

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Saya pribadi sih sudah sangat jengah dengan misinformasi yang sudah bertahun-tahun disebarkan tanpa adanya upaya serius untuk meluruskannya. Seolah-olah lembaga yang bertanggungjawab, seperti lembaga pemerintahan, terlalu nyaman dengan klaim salah tersebut dan mengeksploitasinya untuk berbagai kepentingan-kepentingan.

Memang, sudah ada beberapa lembaga dan individu yang mencoba menangkis narasi-narasi pesimistis tersebut, baik melalui pembacaan lebih dalam terhadap hasil riset tersebut seperti artikel RuangGuru pada tahun 2022, maupun melalui presentasi data-data terbaru dan lebih akurat seperti artikel Good News from Indonesia (GNFI) pada tahun 2021 yang menjadikan ‘waktu membaca yang dihabiskan dalam seminggu’ sebagai variabel utama penelitiannya.

Saya sendiri meyakini bahwa minat dan kebiasaan membaca orang Indonesia tidaklah serendah yang dirumorkan selama ini. Memang, saya pun tidak meyakini bahwa kemampuan literasi orang Indonesia sudah sangat baik. Buktinya saja, artikel World’s Most Literate Nations Ranked tersebut tetap saja disalahartikan sebagai riset terhadap minat baca. Pada akhirnya, minat baca, kebiasaan membaca, dan kemampuan literasi memang adalah tiga hal yang berbeda walaupun saling terkait.

dokumentasi kegiatan Baca Bareng di Taman Literasi, Jakarta, oleh @bacabareng.sbc

Menurut hemat saya, yang sesungguhnya terjadi bukanlah rendahnya minat dan kebiasaan membaca, melainkan orang Indonesia tidak membaca pada waktu dan tempat yang “terlihat”. Lalu, bagaimana cara kita sebagai pembaca awam dapat membuktikan bahwa minat dan kebiasaan membaca orang Indonesia tidak serendah yang diberitakan? Jawabannya adalah dengan membaca buku pada waktu dan tempat yang mudah “terlihat”.

Waktu yang Terlihat

Semua orang yang dapat membaca — dan mendengar, dalam konteks audiobook — tentu saja bisa dikategorikan sebagai pembaca. Pembaca di Indonesia tersebar dari beragam usia, dari mulai siswa sekolah hingga lansia, yang tentunya memiliki kegiatan yang beragam. Namun,satu hal yang dapat menjadi kesamaan di antara kita semua adalah bahwa kita memiliki waktu luang, tidak peduli seberapa singkat maupun panjang waktu luang yang kita punya per harinya.

Pengelolaan waktu luang yang baik dapat menjadi salah satu solusi untuk kita memperlihatkan bahwa orang Indonesia adalah pembaca yang aktif. Pengalaman saya sendiri, saya memanfaatkan waktu perjalanan dari rumah menuju sekolah dengan membaca buku di angkutan umum. Saat ini, ketika saya sudah menjadi karyawan kantoran pun, saya masih memanfaatkan waktu luang seperti waktu istirahat kerja dan waktu kosong saat kerjaan sedang tidak ada sebagai waktu yang tepat untuk membaca buku.

foto saya membaca buku di tengah kerjaan yang sedang sepi

Tentu saja, membaca buku di waktu istirahat seperti menjelang tidur ataupun di hari libur tidaklah salah. Namun, mungkin kita bisa mempertimbangkan juga untuk membaca buku di waktu-waktu yang “terlihat” agar menjadi bukti pada publik bahwa orang Indonesia memang hobi membaca.

Tempat yang Terlihat

Jika kita bicara tempat, maka kita akan membahas akses. Yang mungkin segera terlintas di kepala kita adalah perpustakaan dan juga ruang baca, apakah benar? Namun, pada dasarnya, semua tempat dapat menjadi tempat membaca selama kita dapat menyamankan diri melakukan kegiatan membaca buku.

Sebelumnya saya sudah menyebutkan transportasi umum sebagai salah satu tempat yang dapat dimanfaatkan untuk membaca buku. Pada beberapa media daring seperti Instagram, Twitter, dan TikTok baru-baru ini memang sudah digaungkan himbauan untuk aktif membaca buku di transportasi umum seperti Transjakarta, MRT, LRT, dan Kereta. Kamu mungkin sudah pernah melihat jenis konten himbauan tersebut, kan?

dokumentasi kegiatan Cakuta (Baca Buku di Kereta) di Jakarta oleh @bookclan_sbc

Lalu, bagaimana dengan daerah yang hanya memiliki satu jenis angkutan umum, yaitu mikrolet atau angkot? Tenang saja, jenis angkutan umum yang saya singgung pada cerita pengalaman yang saya ceritakan sebelumnya adalah angkot di kota Padang pada saat saya masih sekolah. Jika kamu tahu, angkot di kota Padang terkenal dengan suara berisik dentuman musik dari speaker dan bass yang terletak di bagian belakang kendaraan tersebut. Saya sendiri tidak merasa terganggu untuk membaca buku pada situasi tersebut. Namun, tentu saja hal ini tidak berlaku merata untuk seluruh orang.

Jika kamu adalah tipe pembaca yang membutuhkan ketenangan, kamu juga dapat memanfaatkan ruang publik seperti cafe atau taman kota sebagai lokasi untuk membaca buku. Selain itu, lokasi-lokasi lainnya seperti ruang tunggu bioskop atau ruang tunggu Rumah Sakit pun dapat kita manfaatkan sebagai tempat membaca di saat kita sedang menunggu giliran. Selain itu, media sosial saat ini juga dapat berfungsi sebagai “tempat” yang dapat dimanfaatkan untuk mempublikasikan kegiatan membaca kita agar lebih terlihat.

Aktivitas Literasi di Ruang Publik

Selain kegiatan membaca buku secara harfiah, ruang publik juga dapat dimanfaatkan untuk jenis kegiatan literasi lainnya. Saat ini, sudah ada beberapa individu dan lembaga yang mengadakan kegiatan literasi di ruang publik seperti Book Clan dengan kegiatan baca bareng dan diskusi buku di taman kota dan Patjarmerah dengan kegiatan festival literasi di landmark kota.

informasi acara festival literasi Patjarmerah 2023 di Ndalem Djojokoesoeman, salah satu landmark kota Solo

Simpulan

Ketiga poin yang saya sampaikan di atas bertujuan untuk membuat kegiatan membaca menjadi terlihat inklusif. Hal ini penting menurut saya untuk diupayakan, karena hingga saat ini kegiatan membaca masih menjadi salah satu jenis kegiatan eksklusif yang dianggap aktivitas intelektual yang hanya melibatkan orang-orang rajin dan pintar.

Padahal, salah satu fungsi membaca buku sebenarnya adalah sebagai bentuk rekreasi, sama seperti menonton film dan juga mendengarkan musik. Jika menonton film dan mendengarkan musik adalah kegiatan inklusif, mengapa membaca lantas menjadi eksklusif?

Saat ini, dapat dikatakan bahwa kebiasaan membaca sudah tertanam dalam sebagian besar orang Indonesia. Yang perlu dilakukan hanyalah mengalihkan pola pikir bahwa membaca buku adalah kegiatan inklusif yang dapat dilakukan di manapun dan kapanpun, sama seperti kita bisa menonton drama korea saat di jalan pulang menggunakan kereta ataupun mendengarkan musik pada saat buang hajat.

Ketiga poin di atas, jika dapat dilakukan secara rutin, dapat membuat aktivitas membaca menjadi lebih “normal” untuk dilakukan dan akibatnya adalah menjadikan ruang publik menjadi lebih bersahabat untuk pembaca buku. Dengan begitu, orang-orang akan lebih berani membaca buku di ruang publik dan di waktu-waktu yang lebih “terlihat” dan mereka akan mulai beranggapan, “oh ternyata orang Indonesia itu minat dan kebiasaan membacanya tinggi, lho.”

--

--

Haris Quds

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.