Konsumen dan Benda: Meninjau Aspek Emosional dan Spiritual

Haris Quds
4 min readJan 19, 2020
Photo by Émile Perron on Unsplash

(Catatan Pembacaan Global Problems and the Culture of Capitalism - Richard Robbins, 2002) — part 1

Kemunculan konsumen sebagai komoditas di abad ke 19 dan 20 menimbulkan pergeseran konsep hubungan manusia dan benda. Jika sebelumnya hubungan manusia dan benda hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan, di abad ke 19 dan 20 — di mana perkembangan industri sedang cepat-cepatnya — hubungan manusia dan benda bergeser ke arah hubungan emosional dan spiritual.

Robbins (2001:19) dalam bukunya Global Problems and the Culture of Capitalism menyatakan, “[T]here had to be a change in spiritual and intellectual values from an emphasis such values as thrift, modesty, and moderation toward a value system that encouraged spending and ostentatious display.” Pergeseran nilai benda menjadi pemenuhan emosi dan kesenangan sementara tersebut tentunya akan memacu konsumen untuk terus membeli barang-barang baru yang dianggap mampu memberi kesenangan emosional.

Hal ini dipicu dengan cara produsen mengiklankan produk mereka dengan mengasosiasikannya pada aspek-aspek psikologis manusia. Robbins (2001:20) memberi contoh, “Clothing, perfumes, deodorant, and so on, would provide the means of achieving love; alcoholic beverages would provide the route to friendship…” Dengan iklan tersebut, produsen memicu munculnya keinginan konsumen untuk membeli produk-produk tersebut demi memperoleh cinta dan pertemanan yang dijanjikan. Iklan-iklan tersebut menjanjikan angan-angan indah (utopia) kepada calon konsumen melalui produknya. Mereka menyasar calon konsumen dengan menyerang kegelisahan (insecurity) mereka atas ketiadaan pasangan atau teman dekat. Margaret Salyer (2012:106) juga menyatakan bahwa “[i]t (utopian advertising) offers an escape from the experience of the commonplace and invites the consumer to enter the scene to experience something new.” Proses transformasi pengalaman tersebut menjadi keinginan terjadi dalam alam bawah sadar manusia, sehingga konsumen sering kali tidak menyadari proses tersebut.

Iklan yang menyasar kegelisahan personal terus dilakukan oleh produsen-produsen melalui berbagai media, termasuk juga media sosial. Era internet ini mendukung produsen untuk mengiklankan produk mereka kepada target yang dituju secara lebih akurat lagi. Algoritma media sosial yang terhubung dengan mesin pencarian di perangkat masing-masing pengguna mampu melacak hal apa saja yang dicari oleh si pengguna melalui mesin mencarian.

Melalui hasil lacakan tersebut, media sosial secara otomatis akan menampilkan produk yang ‘dibutuhkan’ oleh pengguna tersebut melalui slot iklan mereka. Sehingga peran marketing strategist pada kasus ini sudah digantikan oleh teknologi canggih yang jauh lebih akurat menyasar keinginan-keinginan setiap individu. Jika dikaitkan dengan perubahan makna benda pada manusia yang sudah dibahas sebelumnya, iklan-iklan yang muncul secara otomatis melalui media sosial ini lebih berpotensin menimbulkan kejenuhan emosi dan pikiran konsumen. Kejenuhan tersebut terjadi karena iklan-iklan di media sosial muncul pada posisi dan pada waktu-waktu yang tidak terduga. Iklan-iklan ini akan terus muncul secara berkala jika pengguna terus mengeksplorasi media sosialnya; semakin lama berada di media sosial tersebut, semakin sering pula iklan akan muncul.

Pada tingkatan spiritual, perubahan konsep hubungan antara manusia dan benda juga memiliki dampak tersendiri. Robbins (2001:20) menyebutkan bahwa pada era perubahan makna benda tersebut, ada beberapa gerakan keagamaan yang muncul dengan sebutan mind-cure religions. Agama-agama ini mengedepankan konsep menggapai surga-dunia dengan cara menyingkirkan hal-hal negatif seperti konsep dosa, iblis, dan rasa bersalah.

Namun, saya melihat ada kekeliruan pembacaan yang dilakukan oleh Robbins atas konsep mind-cure ini, yaitu Robbins mengartikan konsep mind-cure sebagai dukungan atas pola hidup konsumtif yang mengejar kebahagiaan duniawi melalui benda-benda. Leach (1993) dalam Robbins (2001:21) menyatakan, “If you want to get the most out of life, just make up your mind that you were made to be happy … Think positive, creative, happy thoughts, and your harvest of good things will be abundant.” Nampaknya Robbins menafsirkan kata-kata ‘good things’ sebagai benda secara harfiah, padahal konsep mind-cure itu sendiri justru merupakan terapi sugesti diri untuk merasa cukup dengan diri sendiri. Henry Wood (1893) dalam Duclow (2002) memberikan salah satu contoh narasi sugesti yang dipraktekkan dalam terapi mind-cure­, “… I will forget the evil and remember the good. I am whole, mentally and physically.” Dari kalimat sugesti tersebut tentu dapat dipahami bahwa terapi ini justru bertujuan untuk membuat pasien merasa cukup atas dirinya sendiri tanpa harus ada tambahan dari luar.

Praktek mind-cure hingga saat ini terus dilaksanakan, meskipun telah bertransformasi bentuk dan metode. Praktek sugesti diri yang bertujuan untuk mengimbangi dampak konsumerisme pada saat ini dikenal dengan istilan mindfulness. Hebatnya kapitalisme adalah, ia selalu mampu menciptakan konsumen-konsumen dan pasar-pasar baru. Praktek mindfulness yang biasa dilakukan melalui meditasi dan yoga ternyata juga tak lepas dari kapitalisasi. Kegiatan yoga yang ditujukan untuk mencari kedamaian mental sering kali disusupi dengan komoditas-komoditas yang tidak esensial dan bersifat kebendaan seperti matras yoga, celana yoga, baju yoga dan segala macam benda yang dinyatakan mampu menunjang kegiatan yoga agar lebih nyaman. Tentunya hal ini akan mereduksi atau bahkan menghilangkan esensi dari meditasi tersebut.

Bentuk lain dari praktek spiritual ini adalah gaya hidup minimalis yang menekankan kesederhanaan hidup dan perasaan cukup dengan hanya memiliki hal-hal yang esensial. Nampaknya, selama praktek kapitalisme terus berjalan dan prilaku konsumerisme terus dilanggengkan, pelarian-pelarian yang bersifat spiritual seperti mind-cure, mindfulness, maupun minimalist movement akan terus muncul sebagai pelarian atas kejenuhan individu setelah menjadi konsumen yang hasrat dan keinginannya dikomodifikasi.

Referensi:

Duclow, Donald. F. (2002). William James, Mind-Cure, and the Religion of Healthy-Mindedness. Journal of Religion and Health, vol. 41, no. 2.

Hickey, Wakoh Shannon. (2008). Mind Cure, Meditation, and Medicine: Hidden Histories of Mental Healing in the United States. Duke University.

Robbins, Richard. H. (2001). Global Problems and the Culture of Capitalism. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Salyer, Margaret. (2012). “Jungian Archetype in Advertising Imagery”. Utopian Images and Narratives in Advertising: Dreams for Sale. Ed. Luigi Manca, et al. Lexinton Books. 106–130.

--

--

Haris Quds

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.