Meningkatkan Kualitas Ulasan Buku Dengan Cara Menjaga Jarak

Haris Quds
8 min readMay 13, 2023

--

Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengar bahwa yang namanya ulasan atau review buku pasti bersifat subjektif, dan kurang-lebih memang benar adanya. Sifat subjektivitas sebuah ulasan disebabkan oleh asal ulasan tersebut, yaitu pengalaman membaca si pembuat ulasan. Sebagaimana pengalaman-pengalaman lainnya, pengalaman membaca buku tentunya juga bersifat personal.

Banyak cara untuk dapat membuat ulasan semakin berkualitas, “berisi,” dan sedikit lebih objektif. Salah satunya adalah dengan memberi jarak antara diri dan beberapa aspek sebelum dan selama membuat ulasan.

Menjaga jarak dengan karya

Setelah selesai membaca buku, sering kali kita kewalahan dengan muatan emosi yang kita terima dari buku tersebut, terutama buku fiksi. Seifert (2020), seorang dosen di Westminster College, menyatakan bahwa membaca fiksi dapat meningkatkan empati. Oleh karena itu, meskipun buku yang kita baca adalah sebuah cerita rekaan, muatan emosinya tetap dapat menyentuh rasa empati kita.

Saat membaca fiksi, sangat mudah bagi kita sebagai pembaca untuk ikut serta merasakan setiap emosi yang digambarkan, baik secara eksplisit maupun implisit, pada karya tersebut. Namun, sering kali emosi yang dirasakan dari bagian-bagian tertentu sebuah buku akan mengaburkan penilaian kita pada karya tersebut secara holistik.

Ulasan yang dibuat secara langsung setelah selesai membaca sebuah karya sastra akan sangat dipengaruhi oleh muatan emosi yang dirasakan sehingga pikiran kita teralihkan dari hal-hal yang dapat diproses secara logis.

Maka, ada baiknya memberi jarak waktu Antara pembacaan dengan pembuatan ulasan agar tercipta jarak emosi antara diri dan karya. Dalam jeda waktu tersebut, kita jadi memiliki ruang untuk lebih memikirkan hal-hal lain di samping kesan emosional seperti makna di balik simbol-simbol, kalimat-kalimat, dan aksi dari para tokoh.

Lalu bagaimana jika saat memberi jarak tersebut kita malah lupa pada cerita atau hal-hal penting lainnya dari karya yang dibaca? Di sinilah peran penting sebuah catatan. Membuat sebuah catatan terhadap poin-poin atau adegan-adegan penting yang kita temukan pada saat membaca buku adalah salah satu cara mencegah lupa. Catatan tersebut tidak harus rapi karena nantinya akan dituangkan menjadi sebuah ulasan yang lebih tersusun.

Dengan memberi jarak waktu, dan berbekal catatan kasar, ulasan yang kita buat nantinya akan lebih nyaman disimak oleh audiens dikarenakan muatan emosinya sudah tertata rapi dan menyatu dengan hasil pemikiran.

Menjaga jarak dengan penulis

Pembaca biasanya memiliki satu atau lebih penulis favorit yang karyanya sudah pasti akan dibaca tanpa ada keraguan. Pada taraf tertentu, sebagian pembaca bahkan sudah sampai di tahap mengidolakan. Hal ini adalah wajar mengingat seorang penulis dapat menghasilkan tulisan yang sangat bagus, menyentuh perasaan personal pembaca, dan bahkan mungkin dapat mengubah cara pikir atau sikap si pembaca.

Meskipun tidak ada salahnya mengidolakan seorang penulis, pengidolaan ini dapat mempengaruhi kita saat ingin mengulas karya dari penulis tersebut karena rentan terjadi bias. Memposisikan penulis di posisi idola juga secara tidak langsung menciptakan hierarki semu antara penulis dan pembaca — baik secara sadar maupun tidak.

Ketika kita sudah mengidolakan orang lain, besar kemungkinan kita akan dibutakan dari kekurangan-kekurangan orang tersebut, yang mana tentunya akan mempengaruhi cara kita mengulas. Ulasan yang dipengaruhi pengidolaan cenderung penuh dengan pujian dan minim — atau bahkan tidak ada — kritik.

Bahkan, pada taraf ekstrem, pengidolaan terhadap penulis dapat menyebabkan pembaca menjadi overdefensif dan posesif terhadap karya dan penulis yang diidolakan tersebut. Sebagai contoh adalah kasus penulis Te*sebagian teks hilang*.

Selagi bicara hierarki dalam dunia sastra, ada juga jenis-jenis hierarki lainnya pada kancah sastra, misalnya hierarki antara penulis “kanon” dan penulis “populer” yang memuat anggapan naif bahwa sastra dari penulis “kanon” pasti bagus sedangkan sastra dari penulis “populer” berada di bawahnya secara level kualitas.

Terkait Hierarki dalam dunia sastra Indonesia sendiri, Karnanta (2015), menyatakan bahwa “[a]rena sastra merupakan arena pergulatan yang mana di dalamnya terdapat persaingan tertentu untuk mempertahankan atau justru mengubah relasi-relasi kekuasaan yang ada di dalamnya. Pada tahap inilah seorang penulis terlibat dalam lembaga-lembaga yang terlibat dalam produksi sastra, dan karenanya merancang strategi dan distribusi modal yang dimiliki agar meraih posisi tertentu.”

Adanya hierarki ini membuat pembaca yang membaca karya — yang sering kali dianggap — kanon akan merasa enggan untuk mengkritisi dan memberikan penilaian negatif dikarenakan takut dicap berbeda dari suara mayoritas tersebut. Padahal, tidak ada satu pihak yang memiliki otoritas tunggal yang dapat menentukan siapa penulis kanon dan siapa penulis populer.

Oleh karena itu saya menggunakan tanda petik pada kedua kata tersebut dikarenakan status kanon dan populer bersifat arbitrer dan tidak absolut. Saya mungkin akan membahas isu hierarki dan politik di dunia sastra dalam artikel terpisah pada kesempatan lainnya.

Dengan memberi jarak antara diri dan penulis, dengan memahami adanya hierarki-hierarki imajiner dalam dunia sastra, serta dengan mengecualikan diri dari hierarki tersebut dan menempatkan diri setara dengan si penulis, dapat membuat kita lebih leluasa mengekspresikan dan menuangkan pikiran dalam membuat ulasan. Dengan begitu kita dapat terhindar dari bias dan juga tekanan absurd untuk selalu setuju dengan apa yang dituliskan oleh seorang penulis.

Menjaga jarak dengan pembaca lain

Sebagaimana dinyatakan di awal bahwa setiap ulasan bersifat subjektif dan personal, maka, terlalu banyak membaca ulasan dari penulis lain — hingga taraf tertentu — akan mempengaruhi ulasan yang kita buat.

Poin ini juga berkaitan dengan pemaknaan sastra. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang bersifat multitafsir. Karya sastra yang multitafsir maksudnya adalah karya yang membuka celah untuk ditafsirkan menjadi berbagai pemaknaan oleh pembaca yang berbeda. Dalam studi sastra, setiap pemaknaan terhadap suatu karya adalah valid selama pemberi makna tersebut dapat memberi argumen pendukung terhadap pemaknaannya.

Akan sangat disayangkan jika suatu karya dimaknai dengan satu pemaknaan tunggal karena hal itu akan menutup ruang diskusi terkait karya tersebut. Oleh karena itu, ketika selesai membaca sebuah karya sastra, usahakan untuk membuat pemaknaan tersendiri dengan berlandaskan pada prior knowledge dan latar belakang sosial-budaya yang kita miliki masing-masing agar menghasilkan sebuah pemaknaan yang sifatnya personal.

Tentu saja tidak ada salahnya membandingkan pemikiran kita dengan pemikiran orang lain dengan membaca berbagai ulasan terhadap satu karya yang sama. Namun, cobalah untuk tidak terpengaruh oleh ulasan dan pemaknaan dari orang lain tersebut dengan cara (1) mengurangi membaca ulasan orang lain sebelum ulasan kita sendiri selesai dibuat dan (2) menganggap bahwa ulasan dan pemaknaan orang lain bersifat personal dan tidak lebih valid dibandingkan yang kita miliki.

Menjaga jarak dengan penerbit

Poin terakhir ini saya sertakan dalam konteks kerjasama pembuatan ulasan. Saat ini, sudah banyak pengulas buku yang menerima tawaran kerjasama dari penerbit dengan berbagai pola kerjasama. Dari berbagai cerita yang saya dengar dan juga dari pengalaman saya pribadi, sering kali pengulas buku merasa enggan memberikan ulasan secara jujur untuk buku-buku yang diulas dalam rangka kerjasama.

Tentu saja hal ini dapat dipahami, karena perjanjian kerjasama yang terjadi pasti sedikit-banyaknya memiliki muatan bisnis dalam rangka promosi buku tersebut. Ada tekanan tersendiri bagi pengulas yang telah menyetujui kerjasama untuk turut serta mempromosikan buku tersebut agar laku di pasaran.

Pertimbangan tersebut terkadang menahan kita sebagai pengulas untuk memberikan kritik dan menyampaikan kekurangan-kekurangan dari buku yang diulas karena takut justru akan membuat audiens ulasan tersebut enggan membeli dan jadinya mempengaruhi grafik penjualan.

Tentu saja banyak penerbit yang berpikiran terbuka akan kritik dan ulasan jujur — saya sudah beberapa kali menyaksikan sendiri. Cara mengetahuinya adalah dengan mengemukakan prasyarat di awal kerjasama bahwa kita akan membuat sebuah ulasan yang jujur dan akan mengemukakan kelebihan dan kekurangan dari buku tersebut terlepas dari fakta bahwa ulasan tersebut dibuat dalam rangka kerjasama dan untuk alasan promosi.

Memberikan prasyarat tersebut secara otomatis menciptakan jarak antara kita dan penerbit sehingga ada ruang yang membuat kita leluasa dalam mengemukakan keseluruhan pemikiran kita terhadap buku yang diulas. Tentu saja, sebagai pengulas yang bijak, pemilihan kata untuk menyampaikan kekurangan dari buku tersebut harus dipilih secara cermat, mengingat ulasan dibuat dalam rangka kerjasama.

Simpulan Singkat

Meskipun artikel ini ditujukan untuk menjadi panduan singkat dalam menulis ulasan buku yang lebih berkualitas, tentu saja yang saya sampaikan pada artikel ini tidak menjadi satu-satunya metode dalam membuat ulasan buku.

Ada kalanya kita ingin membuat ulasan yang bersifat ringan dan sekadar berisikan curhatan-curhatan perasaan ketika kita membaca buku tersebut semisal, “astaga kenapa si tokoh kayak gitu sihhhh??” atau “sumpah ya buku ini seru banget rasanya gak mau berhenti baca!” Saya sendiri sering melakukan hal tersebut dan menulisnya sebagai sebuah utas di Twitter.

Namun, biasanya hal tersebut saya lakukan sebagai salah satu bentuk pencatatan ide dan respon saat membaca sebuah buku yang nantinya catatan tersebut dapat saya kunjungi kembali untuk mengingat-ingat apa yang saya rasakan pada saat itu. Tidak jarang juga catatan pembacaan tersebut menjadi dasar dari ulasan-ulasan yang saya buat secara lebih rapi di kemudian hari. Dengan alasan itu, saya sendiri lebih memilih menyebutnya sebagai respon pembacaan alih-alih sebuah ulasan.

Sebagai penutup artikel ini, perlu rasanya saya nyatakan sekali lagi bahwa tidak ada sebuah ulasan yang lebih valid dari ulasan lainnya karena ulasan buku bersifat subjektif dan personal. Sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Lewis (2020), “There is not one perfect format for a book review as reviewers have their own styles, perspectives and priorities.” Adalah penting untuk menemukan gaya penulisan sendiri dan menentukan satu atau dua perspektif tertentu dalam membuat sebuah ulasan.

Namun, cara-cara di atas adalah beberapa di antara banyak metode yang dapat dilakukan jika ingin membuat ulasan yang lebih berkualitas dan lebih kaya isi. Bahkan, sebuah ulasan yang dibuat menggunakan metode-metode di atas tidak menutup kemungkinan untuk dipoles menjadi sebuah kritik sastra dan diterbitkan dalam jurnal akademik.

Sumber bacaan:

Seifert, Christine (2020). The Case for Reading Fiction. Harvard Business Review. https://hbr.org/2020/03/the-case-for-reading-fiction

Karnanta, Kukuh Yuda. (2015). Hierarki Sastra Populer dalam Arena Sastra Indonesia Kontemporer. JENTERA: Jurnal Kajian Sastra, Vol 4, No 1. DOI: https://doi.org/10.26499/jentera.v4i1.379.

Lewis, Marilyn Nesta. (2020). Here’s a Good Book: Hints on Writing a Book Review for Academic Journals. RELC Journal. Volume 53, Issue 1. https://doi.org/10.1177/0033688220916239.

--

--

Haris Quds

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.