Benarkah Psikolog Muslim dalam Dilema?* (Part I)
Membedah pemikiran Prof. Malik B. Badri dalam buku Dilema Psikolog Muslim
Sebagai cabang ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat manusia, psikologi secara umum tidak akan lepas dari kritikan, bahkan dari “dalam dirinya” sendiri. Prof. Badri adalah salah satu psikolog yang menuliskan kritik terhadap keilmuan psikologi. Ia menargetkan kritiknya pada psikolog Muslim di seluruh dunia. Argumen utamanya adalah psikolog Muslim, baik sadar maupun tidak, sesungguhnya sedang berada dalam dilema. Pada esai kali ini, saya akan membedah argumen-argumen Prof. Badri untuk melihat apa yang meresahkan hatinya dan apa yang menjadi kekuatan serta kelemahan kritiknya tersebut.
MUSLIM, NASRANI, YAHUDI, DAN LIANG BIAWAK
Argumen utama yang mendasari Prof. Badri menulis buku ini adalah bahwa psikolog Muslim saat ini telah begitu jauh mengikuti teori-teori psikologi yang dikemukakan oleh orang-orang kafir hingga mereka tidak sadar telah terjerumus ke dalam lubang biawak. Istilah ‘lubang biawak’ yang digunakan dalam buku ini merujuk pada sebuah hadits Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (biawak gurun -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Hadits tersebut cukup populer dan sangat sering diulang-ulang oleh ‘ulama dan syeikh dalam tujuan memberi peringatan pada umat Islam agar tidak mengikuti kebiasaan hidup umat Yahudi dan Nasrani. Sikap mengekor pada kedua umat terdahulu tersebut dalam bahasa syari’at disebut dengan tasyabbuh.
Hadits tersebut memang merupakan nubuat yang sifatnya pasti terjadi, karena Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam menggunakan frasa “sungguh kalian akan…”, dan hal itu memang dapat dilihat sudah terjadi pada umat Islam saat ini, seperti umat Islam yang ikut merayakan hari ulang tahun, hari Valentine, bahkan hari Natal sekalipun. Wal’iyadzubillah.
Adapun kaitan hadits tersebut dengan argumen Prof. Badri tentang psikolog Muslim yang mengekor pada teori-teori ‘psikologi Barat’ (istilah yang digunakan oleh Prof. Badri dengan tone sinis), menurut saya perlu ditinjau lebih kritis lagi. Tinjauan terkait hal tersebut akan saya lakukan pada Part II dari esai ini bersamaan dengan kritik lainnya agar esai Part I ini tetap fokus membahas ide-ide utama Prof. Badri.
PSIKOANALISIS DAN BEHAVIORISM
Dua teori yang difokuskan oleh Prof. Badri dalam kritiknya adalah aliran psikoanalisis/psikoanalisa dan aliran tingkah laku (behaviorism). Ada baiknya saya sedikit menggambarkan pada pembaca, apa itu psikoanalisis dan behaviorism, agar anda paham apa yang dikritisi oleh Prof. Badri
Psikoanalisis adalah salah satu aliran ilmu psikologi yang dikemukakan oleh seorang Yahudi bernama Sigmund Freud. Ia berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia itu pada dasarnya didorong oleh hasrat (Id) atau dorongan primitif yang berorientasi pada kepuasan seperti nafsu seksual/libido, nafsu makan, agresi, dan lain sebagainya. Namun, adalah saringan pada diri sendiri (Ego) dengan menimbang faktor lingkungan sekitar (Superego) yang menentukan apakah dorongan primitif tersebut kemudian direalisasikan menjadi sebuah tindakan atau tidak.
Teori ini juga mensugestikan bahwa sikap dan perilaku orang tua sangat berperan dalam tumbuh kembangnya kondisi mental seorang anak. Teori ini Freud beranggapan bahwa jika seorang anak menjadi manja ataupun menjadi anak nakal, pasti hal itu adalah efek dari pola parenting yang digunakan oleh orang-tua ketika si anak berada pada usia pertumbuhan (menuju remaja).
Psikoanalisis tentu saja memiliki kelemahan, dan ini sudah sangat diakui oleh ilmuan dan praktisi psikologi dunia, salah satunya yaitu tidak mungkinnya teori ini untuk difalsifikasi. Dalam ranah akademis, falsifikasi adalah salah satu syarat sebuah teori dapat diterima sebagai ilmu pengetahuan. Falsifikasi maksudnya adalah kemungkinan sebuah teori untuk diuji kebenarannya dan diadu dengan teori lainnya. Status “bisa difalsifikasi” (falsifiability) ini tidak dimiliki oleh teori Psikoanalisis karena teorinya sangat abstrak dan pernyataannya begitu luas, sehingga tidak bisa diperiksa kebenaran (dan kesalahannya). Beberapa ilmuan bahkan sudah memberi label terhadap teori ini sebagai pseudo-science, atau sains yang semu: suatu pemikiran yang dianggap sebagai sains padahal bukan.
Sedangkan teori psikologi tingkah laku adalah aliran psikologi yang dikemukakan oleh John B. Watson (seorang ateis yang semulanya nasrani) dan Burrhus F. Skinner (juga ateis yang semulanya nasrani). Teori ini mengemukakan bahwa perilaku seorang manusia terbentuk dari pembiasaan diri merespon hal-hal yang ada di sekitarnya. Stimulus yang diberikan oleh lingkungan sekitar terhadap diri akan menciptakan respon dalam diri dan menentukan apakah hal itu akan menjadi perilaku yang berulang atau tidak.
Teori ini dikembangkan — salah satunya — dari eksperimen terhadap hewan. Eksperimennya dilakukan seperti seseorang melatih hewan peliharaannya saat ini. Yaitu memberi hadiah berupa makanan jika hewan tersebut mampu melakukan sebuah trik. Hal ini ditujukan untuk membentuk kebiasaan dalam pikiran si hewan bahwa jika ia melakukan trik atau aktivitas tersebut akan memberinya sebuah kenikmatan atau keuntungan. Hasil eksperimen ini kemudian menjadi sebuah teori yang diyakini juga terjadi pada otak manusia.
Kelemahan dari teori ini adalah terlalu fokus pada satu aspek, yaitu pembiasaan perilaku. Sementara itu, perkembangan diri seorang manusia melibatkan beberapa aspek lainnya selain perilaku, seperti kognitif (pembelajaran) dan juga — menurut Frankl — kebebasan batin. Teori ini juga dinilai terlalu positivistik, yaitu terlalu mengagung-agungkan apa yang bisa diuji dan diobservasi, padahal banyak hal di dunia ini yang tidak bisa diobservasi namun nyata keberadaannya.
Kesamaan dari dua teori tersebut yang menjadi sorotan kritik Prof. Badri adalah: 1.) dikemukakan oleh orang-orang ateis, yang mana salah seorangnya mantan Yahudi dan yang lainnya adalah mantan Nasrani, 2.) sama-sama mengesampingkan (bahkan mendiskreditkan) peran dan juga keberadaan agama, dan 3.) berdasarkan pada dasar pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga poin tersebut yang membuat Prof. Badri mengemukakan argumen bahwa teori-teori di atas tidak layak untuk diikuti oleh psikolog Muslim.
SINISME YANG SESUNGGUHNYA TIDAK TERLALU SINIS
Prof. Badri memang menyebutkan teori psikoanalisis dan behaviorism sebagai ‘psikologi Barat’ dengan tone yang sinis dan sangat agresif. Namun, sesunggunya ia tidak benar-benar benci dengan Barat, alih-alih ia mengemukakan beberapa teori Barat yang sesungguhnya tidak memandang rendah peran agama dalam kehidupan kejiwaan seorang individu.
Tiga teori yang disebutkan dengan hormat oleh Prof. Badri adalah Psikologi Analitis yang dikemukakan Carl Jung, aliran Humanistik yang dikemukakan oleh — salah satunya — Abraham Maslow dan Logoterapi yang dikemukakan oleh Viktor Frankl. Meskipun kedua teori pertama tersebut dipengaruhi oleh teori Freud, namun keluarannya jauh berbeda, bahkan lebih kaya.
Psikologi Analitis milik Jung adalah teori yang dikembangkan berdasarkan ide Freud tentang alam bawah sadar. Namun Jung menolak simplifikasi yang ditawarkan oleh Freud yang menyatakan bahwa perilaku manusia didorong oleh hasrat primitif. Jung juga menolak ide Freud yang menyatakan bahwa agama hanyalah hasil neurosis massal umat manusia dewasa yang kehilangan sosok bapak (father figure) sehingga menciptakan bapak baru untuk dijadikan tempat berpegang, ialah Tuhan. Analisis Freud tersebut ia kemukakan pada esainya yang berjudul The Future of Illusion.
Aliran Humanistik adalah aliran yang berorientasi pada kesatuan antara jiwa dan fisik. Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk yang kompleks, tidak hanya terdiri dari prilaku saja seperti behaviorism maupun pikiran (mind) saja seperti psikoanalisis. Penggabungan antara pengalaman jiwa dan pengalaman fisik membuat setiap individu berbeda dengan individu lainnya. Aliran Humanistik, berbeda dengan psikoanalisis, melihat manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya baik dan perilaku agresi adalah bentuk tingkah laku patologis yang harus dicari sebabnya.
Pernyataan bahwa manusia pada dasarnya baik ini yang menjadi sorotan Prof. Badri, dan juga alasan mengapa ia menyarankan psikolog Muslim lebih condong pada teori ini. Prof. Badri menyatakan bahwa konsep tersebut dekat dengan konsep Fitrah dalam Islam yang juga memandang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya suci ketika dilahirkan ke bumi. Manusia menjadi jahat dan berbuat dosa karena ia memiliki kebebasan dalam memilih untuk menjadi individu yang seperti apa, tidak bersifat pasif sebagaimana yang diyakini Freud. (Tiba-tiba perdebatan tentang sifat dasar manusia antara Psikoanalisis dan Humanistik ini mengingatkan saya pada dua orang pemikir yang juga memiliki pandangan berlawanan tentang state of nature tersebut, yaitu antara Thomas Hobbes dan John Locke.)
Satu lagi teori yang disebutkan oleh Prof. Badri yaitu Logoterapi yang dikemukakan Viktor Frankl karena sejalan dengan aliran Humanistik yang dekat dengan ide eksistensialisme atau pencarian makna hidup. Teori ini dinilai oleh Prof. Badri juga sejalan dengan prinsip Islam karena pencarian tujuan hidup adalah salah satu tema besar yang menjadi pokok ajaran Islam, di mana salah satu tujuan hidup seorang Muslim adalah untuk menabung pahala untuk bekal menuju akhirat, maka yang harus dilakukan oleh seorang Muslim adalah memperbanyak amal sholeh dan perbuatan baik.
Frankl menyatakan bahwa agama merupakan kekuatan yang paling besar yang mampu memberi makna pada manusia di tengah-tengah penderitaan yang ia alami. Jika boleh jujur, sesungguhnya penyertaan teori Frankl oleh Prof. Badri pada buku ini membuat saya sedikit tergelitik, dan ini ada kaitannya dengan penyertaan hadits tentang tasyabbuh di awal. Namun ada baiknya hal ini juga saya bahas pada Part II saja.
Dalam ketiga teori inilah Prof. Badri melihat ada secercah harapan yang setidaknya bisa menyinari para psikolog Muslim yang terjebak di ‘lubang biawak’ dan menunjukkan mereka jalan keluar. Namun, Prof. Badri mengakui bahwa menyadarkan mereka yang sudah terlalu nyaman berada di dalam ‘lubang biawak’ sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal itu menuntut banyak perubahan mendasar yang harus mereka lakukan, dan itu sangatlah mengganggu kenyamanan.
KESIMPULAN PART I
Buku Dilema Psikolog Muslim berisi kritik yang sangat tegas dan lantang terhadap psikolog Muslim, sekaligus peringatan untuk jangan terlalu terlena pada teori-teori psikologi modern yang menyimpang dari ajaran Islam. Apa yang sesungguhnya dikritik oleh Prof. Badri adalah dua hal berikut: 1.) aliran psikoanalisis dan aliran tingkah laku (behaviorism) yang terlalu mensimplifikasi individu manusia, dan 2.) psikolog Muslim yang terlalu memuja kedua teori tersebut, terutama psikoanalisis, dan membabi buta hanya menggunakan satu pendekatan tersebut untuk menangani segala macam masalah pasiennya.
Prof. Badri sesungguhnya tidak menyerang psikologi Barat secara menyeluruh. Ia hanya ingin menyadarkan psikolog Muslim untuk mengingat bahwa mereka memiliki nilai yang seharusnya lebih mereka jadikan pondasi pikiran, yaitu nilai-nilai Islam. Prof. Badri juga mendorong psikolog Muslim untuk kembali menggali khazanah-khazanah ilmu kejiwaan yang sudah pernah dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam, yang sayangnya tidak diajarkan pada jurusan Psikologi Modern di universitas-universitas di dunia. Menggali dan merumuskan teori-teori baru tentang Psikologi dari latar nilai Islam merupakan impian dan sekaligus solusi jangka panjang dari Prof. Badri.
Sebagai solusi jangka pendek, menjelang psikolog Muslim menciptakan teorinya sendiri yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, Prof. Badri mendorong pada psikolog Muslim untuk mempelajari aliran Psikologi Analitis (Jung), Humanistik, dan juga Logoterapi yang lebih jelas sejalan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam atau setidaknya tidak mendiskreditkan peran agama dalam kehidupan manusia. Ketiga teori tersebut juga lebih tidak oversimplified individu manusia karena masing-masing teori tersebut melihat manusia sebagai individu yang kompleks dan dinamis. Juga sambil tetap mempelajari psikologi modern yang nyeleneh namun dengan kerangka berpikir yang kritis, bukan yang afirmatif atau justifikatif.
*Esai ini disampaikan pada acara Bedah Buku bersama Hafuza Reading Club pada tanggal 15 Novemer 2020